Saturday, December 19, 2015

TEORI-TEORI KRIMINOLOGI MODERN



Latar belakang
Kriminologi sebagai ilmu sosial terus mengalami perkembangan dan peningkatan. Perkembangan dan peningkatan ini disebabkan pola kehidupan sosial masyarakat yang terus mengalami perubahan-perubahan dan berbeda antara tempat yang satu dengan yang lainnya serta berbeda pula dari suatu waktu atau jaman tertentu dengan waktu atau jaman yang lain sehingga studi terhadap masalah kejahatan dan penyimpangan juga mengalami perkembangan dan peningkatan dalam melihat, memahami, dan mengkaji permasalahan-permasalahan sosial yang ada di masyarakat dan substansi di dalamnya.
Berkembangnya studi yang dilakukan secara ilmiah mengenai tingkah laku manusia memberikan dampak kepada berkurangnya perhatian para pakar kriminologi terhadap hubungan antara hukum dan organisasi kemasyarakatan. Kemunculan aliran positif mengarahkan para pakar kriminologi untuk lebih menaruh perhatian kepada pemahaman tentang pelaku kejahatan (penjahat) daripada sifat dan karakteristik kejahatan, asal mula hukum serta dampak-dampaknya. Perhatian terhadap hubungan hukum dengan organisasi kemasyarakat muncul kembali pada pertengahan abad 20, karena hukum mulai dianggap memiliki peranan penting dalam menentukan sifat dan karaktersitik suatu kejahatan. Para pakar kriminologi berkeyakinan bahwa pandangan atau perspektif seseorang terhadap hubungan antara hukum dan masyarakat memberikan pengaruh yang penting dalam penyelidikan-penyelidikan yang bersifat kriminologis.
Dalam perkembangannya itu, para pakar kriminologi merumuskan tiga perspektif dan tiga paradigma tentang hubungan antara hukum dan organisasi kemasyarakatan. Tiga perspektif tersebut adalah Konsesus, Pluralis, dan Konflik. Sedangkan tiga paradigma dalam memahami gejala-gejala (reaksi sosial) tersebut adalah Paradigma Positivis, Interaksionis, dan Sosialis.
Dalam kriminologi, terdapat beberapa teori, yang telah digagas oleh pakar-pakar kriminologi terdahulu,  yang menjadi acuan bagi keberlangsungan kriminologi itu sendiri. Teori-teori ini, seperti teori struktur sosial, pengendalian sosial, dan teori labeling, dapat menjadi landasan dalam melihat dan menjawab masalah-masalah yang ada di masyarakat atau dalam mendukung perkembangan dan pembaharuan hukum dan perundangan hukum pidana. Melihat keterkaitan atau kesesuaian antara teori-teori tersebut adalah menjadi pokok permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini.
Teori Struktur Sosial
Para pakar Teori Struktur Sosial meyakini bahwa kekuatan-keuatan sosial-ekonomi yang beroperasi di alam area-area kelas sosial-ekonomi rendah yang buruk mendorong sebagian besar penduduknya ke dalam pola tingkah laku kriminal. Posisi kelas ekonomi yang tidak beruntung adalah penyebab utama dari kejahatan. Teori ini terbagi lagi menjadi tiga teori, yaitu
ü  Teori Disorganisasi Sosial,
ü  Teori Ketegangan (strain theory), dan
ü  Teori Kejahatan Kultural.
Teori Disorganisasi Sosial memiliki fokus pada kondisi di dalam lingkungan, di mana terjadinya lingkungan yang buruk, kontrol sosial yang tidak memadai, pelanggaran hukum oleh gang atau kelompok sosial tertentu, dan adanya pertentangan nilai-nilai sosial.
Strain Theory memiliki fokus terhadap suatu konflik antara tujuan dan cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya ketidakseimbangan distribusi kekayaan dan kekuatan (kekuasaan). Kondisi seperti ini menyebabkan frustasi bagi kalangan tertentu sehingga berusaha mencari cara alternatif untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. Teori ini kemudian memiliki turunannya sendiri, yang disebut sebagai Teori Anomi, yaitu teori yang memandang bahwa orang-orang memiliki paham yang sama akan tujuan dari masyarakat, tetapi kekurangan cara untuk mencapainya sehingga mencari jalan alternatif, seperti kejahatan.  Teori ini kemudian dapat menjelaskan angka kejahatan kelas bawah yang tinggi.
Teori Kejahatan Kultural merupakan bentuk kombinasi dari dua teori sebelumnya (disorganisasi sosial dan strain theory) yang secara bersama-seama menghasilkan budaya kelas rendah yang unik dan bertentangan dengan norma-norma sosial konvensional (sub cultural values in opposition to conventional values). Subkultur ini kemudian membatasi diri dengan gaya hidup dan nilai-nilai alternative dan dianggap sebagai pelaku kejahatan (deviant) oleh budaya normatif.[4]
Teori Struktur Sosial ini erat kaitannya dengan Perspektif Konsensus, yaitu tentang nilai-nilai dan kesepakatan umum yang ada di dalam lingkungan sosial masyarakat. Masyarakat hidup dalam norma-norma dan cara-cara yang telah disepakati bersama untuk tercapainya tujuan. Namun, ketika terjadi suatu kondisi frustasi terhadap norma atau aturan-aturan konvensional, seseorang atau kelompok tertentu mencari cara lain yang bertentangan dengan nroma dan aturan yang ada, yang biasanya menjadi tingkah laku kejahatan. Pelanggaran hukum dalam Perspektif Konsensus merupakan suatu hal yang unik. Dalam kaitannya dengan teori ketegangan, terbentuknya sub kebudayaan kejahatan atau kelompok-kelompok kelas rendah (subculture) adalah merupakan suatu representasi yang mewakili hubungan sebab akibat yang unik tersebut.
Paradigma yang digunakan adalah Paradigma Positivis, yang memiliki fokus pada pencarian jawaban mengapa timbul suatu tingkah laku kejahatan. Karena hubungan sebab akibat tersebut, yaitu tingkah laku adalah hasil dari hubungan sebab akibat antara individu dengan aspek tertentu dari lingkungan mereka, kejahatan dipandang sebagai obyek dan yang harus dicari adalah faktor-faktor yang dapat mengungkapkan tingkah laku kriminal dengan memusatkan perhatian kepada pelaku kejahatan sebagai suatu gejala yang mesti dipelajari. Untuk mencari hubungan suatu sebab akibat itu diperlukan suatu penelitian dengan metode ilmiah.
Ilustrasi yang paling mudah untuk memahami kesesuaian teori ini dengan perspektif dan paradigma yang telah dijelaskan adalah tentang riset yang dilakukan oleh Durkheim tentang bunuh diri “suicide” (1897), berdasarkan Teori Anomi yang digagasnya. Durkheim melakukan suatu penelitian untuk mencari hubungan sebab akibat antara individu dengan lingkungannya yang dapat menyebabkan individu tersebut melakukan suatu penyimpangan (bunuh diri). Dari penelitiannya tersebut, Durkheim mengemukakan bahwa bunuh diri berasal dari kondisi yang menekan (stress) dan proses sosialisasi dari seorang individu kepada suatu nilai budaya “altruistic”.
            Durkheim lebih lanjut menjelaskan bahwa penyimpangan tersebut terjadi disebabkan oleh kondisi ekonomi di dalam masyarakat. Oleh Merton, konsep anomi ini dikembangkan, dengan fokus perhatian masyarakat Amerika. Di Amerika sudah melembaga suatu cita-cita dan tujuan untuk mengejar kesuksesan semaksimak mungkin, yang diukur berdasarkan jumlah harta kekayaan. Namun pada kenyataannya, tidak semua masyarakat di Amerika dapat mencapai cita-cita tersebut melalui cara yang dibenarkan. Oleh karena itu, terdapat individu-individu yang berusaha mencapai tujuannya dengan melakukan pelanggaran. Umumnya, individu ini berasal dari golongan kelas bawah dan golongan minoritas.
Teori Pengendalian Sosial
Teori Pengendalian Sosial adalah istilah yang merujuk kepada teori-teori yang menjelaskan tingkat kekuatan keterikatan individu dengan lingkungan masyarakatnya sebagai faktor yang mempengaruhi tingkah laku kejahatan. Kejahatan dianggap sebagai hasil dari kekurangan kontrol sosial yang secara normal dipaksakan melalui institusi-institusi sosial: keluarga, agama, pendidikan, nilai-nilai dan norma-norma dalam suatu komunitas. Teori Pengendalian Sosial dapat dibagi menjadi dua, yaitu
ü  Containment Theory dan
ü  Social Bond Theory.
Containment Theory yang digagas oleh Reckless (1961) berpendapat bahwa terdapat beberapa cara pertahanan bagi individu agar bertingkah laku selaras dengan nilai dan norma-norma yang ada di dalam masyarakat. Pertahanan tersebut dapat berasal dari dalam (intern), yaitu berupa kemampuan seseorang melawan atau menahan godaan untuk melakukan kejahatan serta memelihara kepatuhan terhadap nroma-nroma yang berlaku. Ada juga pertahanan yang berasal dari luar (extern), yaitu suatu susunan hebat yang terdiri dari tuntutan-tuntutan legal dan larangan-larangan yang menjaga anggota masyarakat agar tetap berada dalam ikatan tingkah laku yang diharapkan oleh masyrakatnya tersebut. Dengan demikan, kedua benteng pertahanan ini (intern dan extern) bekerja sebagai pertahanan terhadap norma sosial dan norma hukum yang telah menjadi kesepakatan bagi masyarakat.
Social Bond Theory oleh Travis Hirschi, melihat bahwa seseorang dapat terlibat kejahatan karena terlepas dari ikatan-ikatan dan kepercayaan-kepecayaan moral yang  seharusnya mengikat mereka ke dalam suatu pola hidup yang patuh kepada hukum (Conklin, 1969). Ikatan sosial yang dimaksud oleh Hirschi ini terbagi ke dalam empat elemen utama. Keempat elemen itu adalah attachment, yaitu ikatan sosial yang muncul karena adanya rasa hormat terhadap orang lain; commitment, yaitu pencarian seorang individu akan tujuan hidup yang ideal dan konvendional; involvement, yaitu keterlibatan individu di dalam kegiatan konvensional dan patuh; dan belief, yaitu keyakinan atas nilai dan norma sosial. Ikatan-ikatan sosial ini dibangun sejak masa kecil melalui hubungan emosional alamiah dengan orang tua, guru, teman sebaya. (Bynum & Thompson, 1989).
Berdasarkan pengertian teori di atas, dapat dibaca bahwa Teori Pengendalian Sosial memiliki kesesuaian dengan Perspektif Konsensus yang menekankan kepada kesepakatan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan yang ada di dalam masyarakat. Individu tidak melakukan kejahatan karena adanya kesadaran untuk tidak melanggar norma hukum yang telah menjadi kesepakatan umum di lingkungan sosialnya. Paradigma yang digunakan dalam pencarian dan penelusuran kebenaran ini adalah Paradigma Positivis. Penelitian yang dilakukan oleh Hirschi menunjukkan bahwa anak-anak delinkuen mempunyai keterikatan yang kurang dengan orang tuanya dibandingkan anak-anak yang non-delinkuen. Hasil penelitian ini memberikan penegasan kepada hubungan sebab-akibat yang menjadi fokus perhatian dari Perspektif Konsensus dan Paradigma Positivis.
Teori Labeling
Menurut Frank Tannenbaum (1938), kejahatan bukan sepenuhnya dikarenakan individu kurang mampu menyesuaikan diri dengan kelompik, tetapi dalam kenyataannya, individu tersebut telah dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan kelmpoknya. Oleh karena itu, kejahatan terjadi karena hasil konflik antara kelompok dengan masyarakat yang lebih luas, di mana terdapat dua definisi yang bertentangan tentan tingkah laku mana yang layak.
Schrag (1971), p. 89-91) memberikan simpulan atas asumsi dasar teori labeling, yaitu sebagai berikut:
1)    Tidak ada satu perbuatan yang terjadi dengan sendirinya bersifat criminal
2)    Rumusan batasan tentang kejahatan dan penjahat dipaksakan sesuai dengan kepentingan mereka yangmemiliki kekuasaan.
3)    Seseorang menjadi penjahat bukan karena ia melanggar undang-undang, melainkan karena ia ditetapkan demikan oleh penguasa
4)    Sehubungan dengan kenyataan di mana setiap orang dapat berbuat baik atau tidak baik, tidak berarti bahwa mereka dapat dikelompokkan menjadi dua bagian kelompok: kriminal dan non-kriminal
5)    Tindakan penangkapan merupakan awal dari proses labeling
6)    Penangkapan dan pengambilan keputusan dalam system peradilan pidanan adalah fungsi dari pelaku/penjahat sebagai lawan dari karakteristik pelanggarannya.
7)    Usia, tingkatan sosial-ekonomi, dan ras merupakan karateristik umum pelaku kejahatan yang menimbulkan perbedaan pengabilan keputusan dalam system peradilan pidana
8)    Sistem peradilan pidana dibentuk berdasarkan perspektif kehendak bebas yang memperkenankan penilaian dan penolakan terhadap mereka yang dipandang sebagai penjahat.
9)    Labeling merupakan suatu proses yang akan melahirkan identifikasi dengan citra sebagai deviant dan sub-kultur serta menghasilan “rejection of the rejector” (dikutip dari Hagan, 1989: p. 453-454)
Edwin Lemert (1950)  memberikan perbedaan mengenai konsep teori labeling ini, yaitu primary deviance dan secondary deviance.Primary deviance ditujukan kepada perbuatan penyimpangan tingkah laku awal. Kelanjutan dari penyimpangan ini berkaitan dengan reorganisasi psikologis dari pengalaman seseorang karena cap yang dia terima dari perbuatan yang telah dilakukan. Ketika label negatif diterapkan begitu umum dan begitu kuat sehingga menjadi bagian dari identitas yang individual, ini yang kemudian diistilahkan Lemert penyimpangan sekunder. Individu yang telah mendapatkan cap tersebut sulit melepaskan diri dari cap yang dimaksud dan cenderung untuk bertingkah laku sesuai dengan label yang diberikan (mengidentifikasi dirinya sebagai pelaku penyimpangan/penjahat).
Teori ini memiliki kesesuaian dengan Perspektif Pluralis. Dalam perspektif itu dikatakan bahwa perbedaan antar kelompok terletak pada benar atau tidak benar. Hal ini selaras dengan pengertian labeling sebagai bentuk penilaian orang lain terhadap benar atau tidak benarnya tingkah laku seseorang di dalam masyarakat. Penilaian ini muncuk karena adanya proses interaksi diantara masing-masing individu. Paradigma yang sesuai adalah Paradigma Interaksionis, di mana paradigma ini menekankan kepada perbedaan psikologi-sosial dari kehidupan manusia. Paradigma ini memandang bahwa kejahatan merupakan suatu kualitas dari reaksi sosial masyarakat terhadap suatu tingkah laku atau perbuatan, di mana dalam teori labeling dijelaskan bahwa tingkah laku seseorang menjadi tidak benar karena ada proses labeling atau cap terhadap tingkah laku tersebut sebagai tingkah laku kejahatan.
Ilustrasi singkat yang dapat lebih menjelaskan teori ini adalah seseorang yang baru saja keluar dari penjara. Ketika dia menjalani hukuman penjara karena perbuatan yang dia lakukan di masa lalu, sesungguhnya dia telah mengalami proses labeling, yaitu keputusan dari penguasan yang menyatakan bahwa dia adalah penjahat dan patut untuk dihukum penjara (sesuai ketentuan yang diutarakan oleh Schrag, penangkapan adalah proses labeling). Setelah keluar dari penjara tersebut, masyarakat akan tetap menilainya sebagai penjahat karena cap yang telah melekat pada dirinya (sulit melepaskan label). Terjadi interaksi antara individu yang baru keluar dari  penjara tersebut dengan masyrakatnya, dan interaksi itu menghasilkan kesimpulan bahwa dia dicap sebagai penjahat meskipun sudah dunyatakan bebas. Hal ini kemudian akan berpengaruh kepada kehidupan, mental, dan sisi psikologis seseorang tersebut, yang kemudian menghambat karir atau usahanya untuk bertahan, seperti misalnya sulit mendapatkan pekerjaan atau mendapatkan kembali kepercayaan dari orang-orang. Dampak seperti ini kemudian menyebabkan seseorang tersebut akhirnya mengulangi perbuatannya dan akhirnya mendidentifikasi dirinya sebagai penjahat.
KESIMPULAN
Teori-teori kriminologi ini menjadi landasan yang akan menunjukkan arah kepada pengamat atau peneliti dalam menentukan masalah apa yang akan diteliti dan dicari solusinya.
Dalam menentukan teori mana yang menjadi landasan, hasil yang maksimal akan dicapai apabila kita dapat menentukan perspektif mana yang akan digunakan. Penentuan perspektif ini kemudian memberikan patokan kepada kita dalam usaha penelusuran dan pencarian kebenaran terhadap realita yang ada di dalam masyarakat (kejahatan dan penyimpangan yang merupakan satu gejala sosial masyarakat). Karena itu dibutuhkan suatu paradigma berpikir yang akan menuntun ke arah fokus perhatian suatu masalah sehingga masalah tersebut dapat dikaji secara mendalam.
Keterkaitan dan kesesuaian antara teori-teori kriminologi dengan perspektif dan paradigma yang ada merupakan satu kesatuan yang menyeluruh dan tidak dapat dipisahkan. Sejatinya, teori-teori kriminologi merupakan elemen-elemen yang membentuk paradigma tersebut sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas terhadap perspektif yang dimiliki secara jelas dan ilmiah. Ketidak pahaman kita terhadap kesesuaian teori dengan paradigma akan berdampak kepada hasil pengamatan pengkajian yang keliru dan sulit untuk dipertanggungjawabkan.
Dalam makalah ini, penyusun memberikan ringkasan akhir berdasarkan pemahaman penyusun tentang teori-teori kriminologi yang ada, yaitu sebagai berikut:
1.            Masing-masing dari teori-teori yang ada memiliki hubungan kesesuaian dengan perspektif dan paradigma yang ada tergantung dari penekanan dari masing-masing perspektif dan paradigma tersebut.
2.            Teori Struktur Sosial dan Teori Pengendalian Sosial termasuk dalam Perspektif Konsensus dan Paradigma Positivis karena pengkajian dan pengujian yang dilakukan oleh para penggagas teori-teori tersebut dengan melakukan suatu metode ilmiah. Dua teori ini menjelaskan hubungan sebab-akibat terjadinya suatu tindak kejahatan, di mana hubungan sebab-akibat adalah penekanan dalam Paradigma Positivis.
3.            Teori Labeling termasuk ke dalam Perspektif Pluralis dan Paradigma Interaksionis. Labeling merupakan hasil dari interaksi yang terjadi antara individu dengan lingkungan sosialnya. Proses labeling ini mempengaruhi latar belakang psikologi-sosial masing-masing individu yang beragam
( dari berbagai sumber )

No comments:

Post a Comment