Latar belakang
Kriminologi sebagai ilmu sosial terus mengalami perkembangan dan
peningkatan. Perkembangan dan peningkatan ini disebabkan pola kehidupan sosial
masyarakat yang terus mengalami perubahan-perubahan dan berbeda antara tempat
yang satu dengan yang lainnya serta berbeda pula dari suatu waktu atau jaman
tertentu dengan waktu atau jaman yang lain sehingga studi terhadap masalah
kejahatan dan penyimpangan juga mengalami perkembangan dan peningkatan dalam
melihat, memahami, dan mengkaji permasalahan-permasalahan sosial yang ada di
masyarakat dan substansi di dalamnya.
Berkembangnya studi yang dilakukan secara ilmiah mengenai
tingkah laku manusia memberikan dampak kepada berkurangnya perhatian para pakar
kriminologi terhadap hubungan antara hukum dan organisasi kemasyarakatan.
Kemunculan aliran positif mengarahkan para pakar kriminologi untuk lebih
menaruh perhatian kepada pemahaman tentang pelaku kejahatan (penjahat) daripada
sifat dan karakteristik kejahatan, asal mula hukum serta dampak-dampaknya.
Perhatian terhadap hubungan hukum dengan organisasi kemasyarakat muncul kembali
pada pertengahan abad 20, karena hukum mulai dianggap memiliki peranan penting
dalam menentukan sifat dan karaktersitik suatu kejahatan. Para pakar
kriminologi berkeyakinan bahwa pandangan atau perspektif seseorang terhadap
hubungan antara hukum dan masyarakat memberikan pengaruh yang penting dalam
penyelidikan-penyelidikan yang bersifat kriminologis.
Dalam perkembangannya itu, para pakar kriminologi merumuskan
tiga perspektif dan tiga paradigma tentang hubungan antara hukum dan organisasi
kemasyarakatan. Tiga perspektif tersebut adalah Konsesus, Pluralis, dan
Konflik. Sedangkan tiga paradigma dalam memahami gejala-gejala (reaksi sosial)
tersebut adalah Paradigma Positivis, Interaksionis, dan Sosialis.
Dalam kriminologi, terdapat beberapa teori, yang telah digagas
oleh pakar-pakar kriminologi terdahulu, yang menjadi acuan bagi
keberlangsungan kriminologi itu sendiri. Teori-teori ini, seperti teori
struktur sosial, pengendalian sosial, dan teori labeling, dapat
menjadi landasan dalam melihat dan menjawab masalah-masalah yang ada di
masyarakat atau dalam mendukung perkembangan dan pembaharuan hukum dan
perundangan hukum pidana. Melihat keterkaitan atau kesesuaian antara
teori-teori tersebut adalah menjadi pokok permasalahan yang akan dibahas dalam
makalah ini.
Teori Struktur Sosial
Para pakar Teori Struktur Sosial meyakini bahwa kekuatan-keuatan
sosial-ekonomi yang beroperasi di alam area-area kelas sosial-ekonomi rendah
yang buruk mendorong sebagian besar penduduknya ke dalam pola tingkah laku
kriminal. Posisi kelas ekonomi yang tidak beruntung adalah penyebab utama dari
kejahatan. Teori ini terbagi lagi menjadi tiga teori, yaitu
ü
Teori Disorganisasi
Sosial,
ü
Teori Ketegangan (strain theory), dan
ü
Teori Kejahatan
Kultural.
Teori Disorganisasi Sosial memiliki fokus pada kondisi di dalam
lingkungan, di mana terjadinya lingkungan yang buruk, kontrol sosial yang tidak
memadai, pelanggaran hukum oleh gang atau
kelompok sosial tertentu, dan adanya pertentangan nilai-nilai sosial.
Strain Theory memiliki fokus
terhadap suatu konflik antara tujuan dan cara-cara yang digunakan untuk
mencapai tujuan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya ketidakseimbangan
distribusi kekayaan dan kekuatan (kekuasaan). Kondisi seperti ini menyebabkan
frustasi bagi kalangan tertentu sehingga berusaha mencari cara alternatif untuk
mencapai tujuan yang dicita-citakan. Teori ini kemudian memiliki turunannya
sendiri, yang disebut sebagai Teori Anomi, yaitu teori yang memandang bahwa
orang-orang memiliki paham yang sama akan tujuan dari masyarakat, tetapi
kekurangan cara untuk mencapainya sehingga mencari jalan alternatif, seperti
kejahatan. Teori ini kemudian dapat menjelaskan angka kejahatan kelas
bawah yang tinggi.
Teori Kejahatan Kultural merupakan bentuk kombinasi dari dua
teori sebelumnya (disorganisasi sosial dan strain theory) yang
secara bersama-seama menghasilkan budaya kelas rendah yang unik dan
bertentangan dengan norma-norma sosial konvensional (sub
cultural values in opposition to conventional values). Subkultur ini
kemudian membatasi diri dengan gaya hidup dan nilai-nilai alternative dan
dianggap sebagai pelaku kejahatan (deviant) oleh budaya
normatif.[4]
Teori Struktur Sosial ini erat kaitannya dengan Perspektif
Konsensus, yaitu tentang nilai-nilai dan kesepakatan umum yang ada di dalam
lingkungan sosial masyarakat. Masyarakat hidup dalam norma-norma dan cara-cara
yang telah disepakati bersama untuk tercapainya tujuan. Namun, ketika terjadi
suatu kondisi frustasi terhadap norma atau aturan-aturan konvensional,
seseorang atau kelompok tertentu mencari cara lain yang bertentangan dengan
nroma dan aturan yang ada, yang biasanya menjadi tingkah laku kejahatan.
Pelanggaran hukum dalam Perspektif Konsensus merupakan suatu hal yang unik.
Dalam kaitannya dengan teori ketegangan, terbentuknya sub kebudayaan kejahatan
atau kelompok-kelompok kelas rendah (subculture) adalah
merupakan suatu representasi yang mewakili hubungan sebab akibat yang unik
tersebut.
Paradigma yang digunakan adalah Paradigma Positivis, yang
memiliki fokus pada pencarian jawaban mengapa timbul suatu tingkah laku
kejahatan. Karena hubungan sebab akibat tersebut, yaitu tingkah laku adalah
hasil dari hubungan sebab akibat antara individu dengan aspek tertentu dari
lingkungan mereka, kejahatan dipandang sebagai obyek dan yang harus dicari
adalah faktor-faktor yang dapat mengungkapkan tingkah laku kriminal dengan
memusatkan perhatian kepada pelaku kejahatan sebagai suatu gejala yang mesti
dipelajari. Untuk mencari hubungan suatu sebab akibat itu diperlukan suatu
penelitian dengan metode ilmiah.
Ilustrasi
yang paling mudah untuk memahami kesesuaian teori ini dengan perspektif dan
paradigma yang telah dijelaskan adalah tentang riset yang dilakukan oleh
Durkheim tentang bunuh diri “suicide” (1897),
berdasarkan Teori Anomi yang digagasnya. Durkheim melakukan suatu penelitian
untuk mencari hubungan sebab akibat antara individu dengan lingkungannya yang dapat
menyebabkan individu tersebut melakukan suatu penyimpangan (bunuh diri). Dari
penelitiannya tersebut, Durkheim mengemukakan bahwa bunuh diri berasal dari
kondisi yang menekan (stress) dan proses sosialisasi dari seorang individu
kepada suatu nilai budaya “altruistic”.
Durkheim lebih lanjut menjelaskan bahwa
penyimpangan tersebut terjadi disebabkan oleh kondisi ekonomi di dalam
masyarakat. Oleh Merton, konsep anomi ini dikembangkan, dengan fokus perhatian
masyarakat Amerika. Di Amerika sudah melembaga suatu cita-cita dan tujuan untuk
mengejar kesuksesan semaksimak mungkin, yang diukur berdasarkan jumlah harta
kekayaan. Namun pada kenyataannya, tidak semua masyarakat di Amerika dapat
mencapai cita-cita tersebut melalui cara yang dibenarkan. Oleh karena itu,
terdapat individu-individu yang berusaha mencapai tujuannya dengan melakukan
pelanggaran. Umumnya, individu ini berasal dari golongan kelas bawah dan
golongan minoritas.
Teori Pengendalian Sosial
Teori Pengendalian Sosial adalah istilah yang merujuk kepada
teori-teori yang menjelaskan tingkat kekuatan keterikatan individu dengan
lingkungan masyarakatnya sebagai faktor yang mempengaruhi tingkah laku
kejahatan. Kejahatan dianggap sebagai hasil dari kekurangan kontrol sosial yang
secara normal dipaksakan melalui institusi-institusi sosial: keluarga, agama,
pendidikan, nilai-nilai dan norma-norma dalam suatu komunitas. Teori
Pengendalian Sosial dapat dibagi menjadi dua, yaitu
ü Containment Theory dan
ü Social Bond Theory.
Containment Theory yang digagas oleh
Reckless (1961) berpendapat bahwa terdapat beberapa cara pertahanan bagi
individu agar bertingkah laku selaras dengan nilai dan norma-norma yang ada di
dalam masyarakat. Pertahanan tersebut dapat berasal dari dalam (intern), yaitu berupa kemampuan seseorang melawan atau
menahan godaan untuk melakukan kejahatan serta memelihara kepatuhan terhadap
nroma-nroma yang berlaku. Ada juga pertahanan yang berasal dari luar (extern), yaitu suatu susunan hebat yang terdiri dari
tuntutan-tuntutan legal dan larangan-larangan yang menjaga anggota masyarakat
agar tetap berada dalam ikatan tingkah laku yang diharapkan oleh masyrakatnya
tersebut. Dengan demikan, kedua benteng pertahanan ini (intern dan extern) bekerja
sebagai pertahanan terhadap norma sosial dan norma hukum yang telah menjadi
kesepakatan bagi masyarakat.
Social Bond Theory oleh Travis Hirschi, melihat bahwa seseorang dapat
terlibat kejahatan karena terlepas dari ikatan-ikatan dan
kepercayaan-kepecayaan moral yang seharusnya mengikat mereka ke dalam
suatu pola hidup yang patuh kepada hukum (Conklin, 1969). Ikatan sosial yang
dimaksud oleh Hirschi ini terbagi ke dalam empat elemen utama. Keempat elemen
itu adalah attachment, yaitu ikatan sosial
yang muncul karena adanya rasa hormat terhadap orang lain; commitment, yaitu pencarian seorang individu akan
tujuan hidup yang ideal dan konvendional; involvement, yaitu
keterlibatan individu di dalam kegiatan konvensional dan patuh; dan belief, yaitu keyakinan atas nilai dan norma sosial.
Ikatan-ikatan sosial ini dibangun sejak masa kecil melalui hubungan emosional
alamiah dengan orang tua, guru, teman sebaya. (Bynum & Thompson, 1989).
Berdasarkan pengertian teori di atas, dapat dibaca bahwa Teori
Pengendalian Sosial memiliki kesesuaian dengan Perspektif Konsensus yang
menekankan kepada kesepakatan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan yang ada
di dalam masyarakat. Individu tidak melakukan kejahatan karena adanya kesadaran
untuk tidak melanggar norma hukum yang telah menjadi kesepakatan umum di lingkungan
sosialnya. Paradigma yang digunakan dalam pencarian dan penelusuran kebenaran
ini adalah Paradigma Positivis. Penelitian yang dilakukan oleh Hirschi
menunjukkan bahwa anak-anak delinkuen mempunyai keterikatan yang kurang dengan
orang tuanya dibandingkan anak-anak yang non-delinkuen. Hasil penelitian ini
memberikan penegasan kepada hubungan sebab-akibat yang menjadi fokus perhatian
dari Perspektif Konsensus dan Paradigma Positivis.
Teori Labeling
Menurut Frank Tannenbaum (1938), kejahatan bukan sepenuhnya
dikarenakan individu kurang mampu menyesuaikan diri dengan kelompik, tetapi
dalam kenyataannya, individu tersebut telah dipaksa untuk menyesuaikan diri
dengan kelmpoknya. Oleh karena itu, kejahatan terjadi karena hasil konflik
antara kelompok dengan masyarakat yang lebih luas, di mana terdapat dua
definisi yang bertentangan tentan tingkah laku mana yang layak.
Schrag (1971), p. 89-91)
memberikan simpulan atas asumsi dasar teori labeling, yaitu sebagai berikut:
1)
Tidak ada satu
perbuatan yang terjadi dengan sendirinya bersifat criminal
2)
Rumusan batasan
tentang kejahatan dan penjahat dipaksakan sesuai dengan kepentingan mereka
yangmemiliki kekuasaan.
3)
Seseorang menjadi
penjahat bukan karena ia melanggar undang-undang, melainkan karena ia
ditetapkan demikan oleh penguasa
4)
Sehubungan dengan
kenyataan di mana setiap orang dapat berbuat baik atau tidak baik, tidak
berarti bahwa mereka dapat dikelompokkan menjadi dua bagian kelompok: kriminal
dan non-kriminal
5)
Tindakan penangkapan
merupakan awal dari proses labeling
6)
Penangkapan dan
pengambilan keputusan dalam system peradilan pidanan adalah fungsi dari
pelaku/penjahat sebagai lawan dari karakteristik pelanggarannya.
7)
Usia, tingkatan
sosial-ekonomi, dan ras merupakan karateristik umum pelaku kejahatan yang
menimbulkan perbedaan pengabilan keputusan dalam system peradilan pidana
8)
Sistem peradilan
pidana dibentuk berdasarkan perspektif kehendak bebas yang memperkenankan
penilaian dan penolakan terhadap mereka yang dipandang sebagai penjahat.
9) Labeling merupakan suatu proses yang akan melahirkan
identifikasi dengan citra sebagai deviant dan
sub-kultur serta menghasilan “rejection
of the rejector” (dikutip dari Hagan, 1989: p. 453-454)
Edwin Lemert (1950) memberikan
perbedaan mengenai konsep teori labeling ini, yaitu primary deviance dan secondary deviance.Primary deviance ditujukan
kepada perbuatan penyimpangan tingkah laku awal. Kelanjutan dari penyimpangan
ini berkaitan dengan reorganisasi psikologis dari pengalaman seseorang karena
cap yang dia terima dari perbuatan yang telah dilakukan. Ketika label negatif
diterapkan begitu umum dan begitu kuat sehingga menjadi bagian dari identitas
yang individual, ini yang kemudian diistilahkan Lemert penyimpangan sekunder.
Individu yang telah mendapatkan cap tersebut sulit melepaskan diri dari cap
yang dimaksud dan cenderung untuk bertingkah laku sesuai dengan label yang
diberikan (mengidentifikasi dirinya sebagai pelaku penyimpangan/penjahat).
Teori ini memiliki kesesuaian dengan Perspektif Pluralis. Dalam
perspektif itu dikatakan bahwa perbedaan antar kelompok terletak pada benar
atau tidak benar. Hal ini selaras dengan pengertian labeling sebagai bentuk
penilaian orang lain terhadap benar atau tidak benarnya tingkah laku seseorang
di dalam masyarakat. Penilaian ini muncuk karena adanya proses interaksi
diantara masing-masing individu. Paradigma yang sesuai adalah Paradigma
Interaksionis, di mana paradigma ini menekankan kepada perbedaan
psikologi-sosial dari kehidupan manusia. Paradigma ini memandang bahwa
kejahatan merupakan suatu kualitas dari reaksi sosial masyarakat terhadap suatu
tingkah laku atau perbuatan, di mana dalam teori labeling dijelaskan bahwa
tingkah laku seseorang menjadi tidak benar karena ada proses labeling atau cap
terhadap tingkah laku tersebut sebagai tingkah laku kejahatan.
Ilustrasi singkat yang dapat lebih menjelaskan teori ini adalah
seseorang yang baru saja keluar dari penjara. Ketika dia menjalani hukuman
penjara karena perbuatan yang dia lakukan di masa lalu, sesungguhnya dia telah
mengalami proses labeling, yaitu keputusan dari penguasan yang menyatakan bahwa
dia adalah penjahat dan patut untuk dihukum penjara (sesuai ketentuan yang
diutarakan oleh Schrag, penangkapan adalah proses labeling). Setelah keluar
dari penjara tersebut, masyarakat akan tetap menilainya sebagai penjahat karena
cap yang telah melekat pada dirinya (sulit melepaskan label). Terjadi interaksi
antara individu yang baru keluar dari penjara tersebut dengan
masyrakatnya, dan interaksi itu menghasilkan kesimpulan bahwa dia dicap sebagai
penjahat meskipun sudah dunyatakan bebas. Hal ini kemudian akan berpengaruh
kepada kehidupan, mental, dan sisi psikologis seseorang tersebut, yang kemudian
menghambat karir atau usahanya untuk bertahan, seperti misalnya sulit
mendapatkan pekerjaan atau mendapatkan kembali kepercayaan dari orang-orang.
Dampak seperti ini kemudian menyebabkan seseorang tersebut akhirnya mengulangi
perbuatannya dan akhirnya mendidentifikasi dirinya sebagai penjahat.
KESIMPULAN
Teori-teori kriminologi ini menjadi landasan yang akan
menunjukkan arah kepada pengamat atau peneliti dalam menentukan masalah apa
yang akan diteliti dan dicari solusinya.
Dalam menentukan teori mana yang menjadi landasan, hasil yang
maksimal akan dicapai apabila kita dapat menentukan perspektif mana yang akan
digunakan. Penentuan perspektif ini kemudian memberikan patokan kepada kita
dalam usaha penelusuran dan pencarian kebenaran terhadap realita yang ada di
dalam masyarakat (kejahatan dan penyimpangan yang merupakan satu gejala sosial
masyarakat). Karena itu dibutuhkan suatu paradigma berpikir yang akan menuntun
ke arah fokus perhatian suatu masalah sehingga masalah tersebut dapat dikaji
secara mendalam.
Keterkaitan dan kesesuaian antara teori-teori kriminologi dengan
perspektif dan paradigma yang ada merupakan satu kesatuan yang menyeluruh dan
tidak dapat dipisahkan. Sejatinya, teori-teori kriminologi merupakan
elemen-elemen yang membentuk paradigma tersebut sehingga dapat memberikan
gambaran yang jelas terhadap perspektif yang dimiliki secara jelas dan ilmiah.
Ketidak pahaman kita terhadap kesesuaian teori dengan paradigma akan berdampak
kepada hasil pengamatan pengkajian yang keliru dan sulit untuk
dipertanggungjawabkan.
Dalam makalah ini, penyusun memberikan ringkasan akhir
berdasarkan pemahaman penyusun tentang teori-teori kriminologi yang ada, yaitu
sebagai berikut:
1.
Masing-masing dari
teori-teori yang ada memiliki hubungan kesesuaian dengan perspektif dan
paradigma yang ada tergantung dari penekanan dari masing-masing perspektif dan
paradigma tersebut.
2.
Teori Struktur Sosial
dan Teori Pengendalian Sosial termasuk dalam Perspektif Konsensus dan Paradigma
Positivis karena pengkajian dan pengujian yang dilakukan oleh para penggagas
teori-teori tersebut dengan melakukan suatu metode ilmiah. Dua teori ini menjelaskan
hubungan sebab-akibat terjadinya suatu tindak kejahatan, di mana hubungan
sebab-akibat adalah penekanan dalam Paradigma Positivis.
3.
Teori Labeling
termasuk ke dalam Perspektif Pluralis dan Paradigma Interaksionis. Labeling
merupakan hasil dari interaksi yang terjadi antara individu dengan lingkungan
sosialnya. Proses labeling ini mempengaruhi latar belakang psikologi-sosial
masing-masing individu yang beragam
( dari berbagai sumber )
No comments:
Post a Comment